PERISTIWA gempa dan tsunami berkekuatan 8.9 skala Richter yang pernah menimpa masyarakat Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 telah berlalu tujuh tahun lamanya yang masih meninggalkan berbagai kenangan dan cerita duka. Kenangan duka ini tidak akan pernah dilupakan sepanjang hidup masyarakat, khususnya mereka yang langsung mengalami kejadian tersebut. Sebaliknya, semangat kehidupan untuk bangkit kembali dan menatap masa depan yang lebih baik akan terus dilakukan pasca bencana yang pernah terjadi di abad modern ini.
Bencana yang telah terjadi tidak seharusnya dirasakan sebagai sebuah “malapetaka”, sehingga masyarakat larut dalam kesedihan, kehilangan dan keterpurukan. Tapi, bencana besar yang terjadi tujuh tahun sudah seharusnya diubah dari sebuah tragedi yang menyedihkan menjadi sebuah peluang untuk mencapai kehidupan masa depan masyarakat Aceh yang lebih baik melalui berbagai aspek pembangunan, salah satunya pembangunan industri pariwisata.
Industri pariwisata di dunia umumnya dan Indonesia khususnya telah berkembang pesat. Perkembangan industri tersebut tidak hanya berdampak pada peningkatan penerimaan devisa negara, namun juga telah mampu memperluas kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat untuk mengatasi masalah pengangguran di daerah. Industri pariwisata di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya Aceh juga sudah mulai bangkit dan berperan dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, memelihara dan memperkuat nilai-nilai sosial budaya serta membangun kesadaran masyarakat terhadap upaya konservasi lingkungan.
Aceh yang terletak di kawasan paling barat Republik Indonesia dengan berbagai pesona keindahan alam dan daya tarik wisata budaya serta kekayaan sejarah masa lalu telah bersiap untuk memajukan Aceh melalui industri pariwisata secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan tetap mengkedepankan karakteristik daerah, khususnya pengembangan wisata tsunami dengan berbagai peninggalan tsunami “Tsunami Heritage”. Mungkinkah wisata tsunami dapat berkembang?
Wisata tsunami Aceh
Peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi pada akhir Desember 2004 telah menciptakan berbagai peninggalan dan menjadi sejarah penting. Berbagai peninggalan tersebut meliputi peninggalan bencana Tsunami, seperti Kapal PLTD Apung, Kapal Di Atas Rumah, Kuburan Massal, situs Tsunami “Tsunami Heritage”, Mesjid Baiturrahim, masyarakat korban yang selamat dari bencana Tsunami, dll. Peninggalan keberhasilan selama Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh meliputi Museum Tsunami Aceh, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center “TDMRC” sebagai pusat data, penelitian dan mitigasi bencana, Escape Building, pengalaman kebencanaan atau “lesson learnt” yang dimiliki oleh masyarakat Aceh.









Mengingat berbagai peninggalan akibat bencana tsunami tersebut bersifat khas, kekinian dan menarik dan sangat jarang ditemukan di tempat lain, maka Aceh dengan berbagai keunikan dan karakteristik daerah yang unik akan berpeluang menjadi sebagai DTW Tsunami unggulan “Tsunami heritage”, yang berpadukan dengan keindahan alam dan budaya Aceh “cultural heritage”.
Namun, memajukan industri pariwisata Aceh melalui wisata tsunami bukan berarti mengkomersilkan penderitaan dan keterpurukan masyarakat Aceh kepada wisatawan hanya semata-mata untuk memperoleh sejumlah rupiah. Sebaliknya, melalui wisata tsunami kita ingin memperlihatkan kepada masyarakat global tentang kekuatan, ketahanan dan ketabahan masyarakat Aceh selama tsunami, sekaligus berbagi pengalaman hidup dengan para korban yang selamat dari bencana dalam membangun sikap kesetiakawanan sosial serta kewaspadaan diri untuk menghadapi berbagai bencana yang mungkin timbul di kemudian hari. Melalui wisata tsunami, kita juga ingin menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada masyarakat global atas segala solidaritas dan perhatian yang diberikan selama rekonstruksi Aceh serta media untuk selalu mengingat tragedi besar yang pernah terjadi, agar tidak pernah dilupakan oleh generasi muda.
Keberadaan Museum Tsunami Aceh sebagai museum kebanggaan masyarakat Aceh dan internasional, selain menjadi simbol kekuatan dan kesabaran masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami, juga menjadi ikon pariwisata tsunami Aceh ke depan. Museum yang dibangun melalui pendekatan arsitektur budaya Aceh dengan berbagai koleksi dan aktivitas tsunami, seperti film dokumenter/4 dimensi, kartun, lukisan, hikayat Tsunami Aceh, puisi, cerita pendek, drama, musik atau lagu, kisah “Smong Semeulue 1907” dan kearifan lokal lainnya menjadi daya tarik tersendiri serta media pembelajaran efektif bagi wisatawan menuju kesiap-siagaan bencana.
Untuk menjadikan Aceh sebagai DTW Tsunami, maka perlu dibangun pencitraan positif “brand image” dengan mempersiapkan berbagai sarana wisata yang dibutuhkan, pemandu yang profesional, memelihara berbagai situs tsunami dengan kondisi yang sebenarnya serta menciptakan berbagai atraksi wisata tsunami atau “Aceh Tsunami Calendar of event” yang menarik, seperti peringatan tsunami, Aceh International Tsunami Marathon, Seminar/workshop Tsunami, dll.
Peringatan Tsunami dengan berbagai atraksi wisata lainnya akan memiliki arti penting yang tentunya akan menarik minat wisatawan, khususnya para pekerja selama Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh. Mereka akan sangat tertarik untuk berkunjung semata-mata untuk melihat dan merasakan langsung keberhasilan masyarakat Aceh membangun daerahnya pasca bencana. Ini akan menjadi momentum emosional dan nostalgia bagi mereka untuk datang ke Aceh bersama sahabat dan keluarga mereka.
Berbagai produk dan daya tarik wisata Tsunami perlu dirancang dan dikemas secara unik dan menarik serta disesuaikan dengan harapan wisatawan dengan tetap mengutamakan ide, kreativitas dan inovasi lokal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pengembangan industri kreatif. Semakin spesifik dan kreatif produk-produk wisata tsunami yang akan dikembangkan, makin tertarik minat wisatawan untuk berkunjung. Semakin banyak wisatawan yang datang ke Aceh, maka Aceh semakin dikenal sebagai DTW Tsunami unggulan.