Kembali ke Banda Aceh, saya menemukan suasana baru di kota yang pernah porak poranda diterjang tsunami. Salah satu pemandangan yang berbeda adalah suasana malam hari di Banda Aceh. Bila dulu “kehidupan malam” Banda Aceh terbatas di sekeliling Masjid Baiturrahman – khususnya para penjual sirih-pinang yang menjadi tempat nongkrong anak-anak muda, kini kedua tepi jalan utama Banda Aceh menjadi meriah dengan warung-warung malam. Tidak lesehan, karena ini memang bukan di Jawa. Para pedagang menempatkan kursi-kursi plastik bersandaran, sehingga pengunjung dapat duduk santai. Puluhan gerobak penjual burger melayani pelanggan masing-masing.
“Mungkin inilah berkah dari tsunami,” kata Bang Zul, pengemudi taksi ASA. “Habis tsunami, datang damai. Sekarang penduduk Banda Aceh berani keluar malam.”
Kunjungan saya ke Banda Aceh terakhir ini juga menguak berbagai rahasia kuliner baru. Berbekal catatan dari JS-er Arie Parikesit yang sempat setahun bekerja di Aceh untuk sebuah LSM internasional, saya temukan berbagai permata boga yang sebelumnya tidak saya ketahui.
Misalnya adalah kare sie itek alias kari bebek kesukaan saya. Sebelumnya, kari bebek favorit saya adalah jualan seorang ibu di pojok medan Rex, di seberang Hotel Medan. Kari bebeknya memakai kentang, dengan kuah yang merah mlekoh berminyak. Bebeknya diikat dengan selembar serai supaya tidak tercerai-berai saking empuknya.
Menurut catatan Arie, ada kedai bu (warung nasi) lain yang menjual kari bebek dengan sentuhan beda. Yang satu ini juga hanya berjualan sore hari di kaki lima depan Masjid Topi Aceh di Jalan Teuku Umar, dimasak oleh seorang ustaz berbaju gamis. Saya terkejut ketika melihat penampilan kari yang lebih mirip rendang atau kalio karena kuahnya sangat kental.
Bebeknya sendiri memang tidak seempuk yang disebut pertama. Tetapi, kuah kentalnya berkualitas juara. Orang Aceh memang suka bumbu yang kuat menyengat.
Tingkat kepedasannya pun cukup tinggi. Untungnya, kari bebek ini disajikan dengan pacri nanas yang menyeimbangkan rasanya menjadi santapan yang nyaman di mulut.
Terus terang, saya tidak ingin memilih mana yang terbaik dari keduanya. Bukan ini atau itu, melainkan ini dan itu. He he he, makan dua kali ‘kan belum dilarang? Apalagi untuk masakan berkualitas tinggi seperti itu.
Masakan Aceh yang sedang naik daun belakangan ini adalah ayam tangkap. Ada satu rumah makan bernama Cut Dek yang khusus berjualan ayam tangkap dan sudah punya dua gerai di Banda Aceh. Tetapi, ayam tangkap juga tersedia di banyak kedai bu. Di Kelapa Gading, Jakarta, ada RM Aceh Baru yang juga menyajikan masakan ini, tetapi diberi nama ayam tsunami.
Penyajiannya mirip sampah, karena itu sering pula disebut ayam sampah. Ayam dipotong kecil-kecil berikut tulangnya. Setelah dibumbui, digoreng dalam wajan besar. Menjelang matang, dimasukkan daun temurui (salam koja, daun kari), rajangan daun pandan, cabe hijau, dan rajangan bawang merah. Ketika disajikan, ada tiga unsur yang kita nikmati, yaitu: rasa, aroma, dan penampilan.
Tanpa kedua elemen unik yang disebut terakhir, rasanya sama saja dengan ayam goreng yang gurih dan lezat. Ha ha ha …
Nama ayam tangkap juga menciptakan hype tersendiri. Konon, disebut demikian karena pengunjung sering menggerutu saking lamanya menunggu. Maklum, menu ini harus digoreng berdasar pesanan, supaya lebih sip markusip. “Ayamnya sedang ditangkap, ya?” tanya kebanyakan tamu yang tak sabar menunggu.
Dalam kunjungan sebelumnya ke Banda Aceh, saya kurang lengkap menulis tentang sate matang yang terkenal. Ini bukan soal sate yang matang atau setengah matang. Matang adalah nama desa di dekat Bireuen, tempat asal sate ini. Di Banda Aceh banyak penjual sate matang dari daging sapi maupun daging kambing. Yang paling enak dan otentik adalah yang disajikan sebuah warung di Jalan Ratu Safiatudin.
Di warung ini hanya tersedia versi daging sapi. Potongan dagingnya besar-besar, dan sudah dibacem dengan bumbu-bumbu – mirip bumbu dendeng manis – sebelum ditusuki. Sate model ini sangat mirip dengan sate Pak Kempleng di Ungaran, atau sate maranggi di Cianjur. Satenya sudah manis dan gurih tanpa dicocol bumbu.
Mirip dengan sate klathak di Imogiri, Yogyakarta, yang default-nya adalah nasi dengan kuah gulai, maka sate matang di warung ini dihadirkan dengan semangkuk soto kambing. Soto kambingnya berbumbu kuat, seperti sop maraq dari Arab. Yang dijual di gerobak-gerobak biasanya tidak di-pairing dengan soto, dan potongan dagingnya pun kecil-kecil, sehingga kurang terasa mantap.
Menu sarapan yang populer di Aceh adalah nasi guri atau nasi gurih. Sangat mirip nasi uduk di Jakarta atau nasi lemak di Malaysia dan Singapura, tetapi nasi guri jauh lebih gurih dan aromatik. Favorit Arie adalah nasi guri Ibu Ros di depan RS Fakina. Dulu saya sudah puas dengan nasi guri di salah satu kedai kopi di seberang Masjid Baiturrahman. Tetapi, setelah mencicipi nasi guri Ibu Ros, rasanya saya punya juara baru.
Di warung Ibu Ros yang selalu ramai ini, saya mencicipi nasi guri dengan lauk ikan rambeu goreng dengan sambal lado yang cantik, dendeng dengan ketumbar yang menutupi hampir seluruh permukaannya, dan kalio limpa yang rasanya masih terus menguasai rongga mulut saya sampai beberapa jam kemudian.
Sebelum kembali ke Jakarta, sempatkan untuk singgah ke warung Rujak Blang Bintang. Bila datang dari arah kota Banda Aceh, warung ini letaknya sekitar 500 meter sebelum pintu gerbang bandara, di sebelah kanan jalan. Warung ini baru buka pukul tiga petang, dan langsung diantre orang. Penjualnya seorang pria yang terus-menerus mengulek bumbu. Buah-buahan yang sudah dipotong kecil-kecil tersedia di sebuah baskom besar. Sedangkan buah segar yang belum dipotong dipajang memenuhi sebuah meja. Buah-buahannya sangat lengkap: pepaya, mangga, kuini, ubi jalar, nanas, bengkuang, kedondong, ketimun.
Yang istimewa adalah saus rujaknya yang dibuat dari gula merah, kacang goreng, cabe merah, bawang merah, pisang batu. Ada dua bumbu khas yang tidak ditemui pada rujak versi mana pun, yaitu: buah batok (di Jawa disebut kawis atau kawista) dan buah rumbia (karena bentuknya mirip salak juga disebut salak aceh). Buah batok memberi aroma yang sangat khas. Sedangkan buah rumbia memberi tendangan rasa sepet yang – entah kenapa – justru membuat rujak yang satu ini unforgettable.
Buah potongnya kemudian dicampur ke dalam saus rujak ini. Hasilnya adalah sebuah melange citarasa dan aroma yang dahsyat. Seandainya kita sedang pilek dan indera pencium kita terganggu, mungkin rujak ini hanya akan mencapai 75% penampilannya. Menurut saya, aroma kawis dan kuini mencuat menciptakan harum yang sangat unik dan luar biasa. Aroma ini – mau tidak mau – mempengaruhi citarasa rujak segar yang sedang kita nikmati dengan indera perasa di lidah.
Probably the world’s best rujak! Kabarnya, sudah banyak menteri yang singgah ke warung rujak ini. Bahkan banyak penerbang helikopter dari Amerika Serikat ketika menjalankan operasi kemanusiaan pasca tsunami menjadi pelanggan tetap rujak ini.
Jadi, hati-hati bila Anda sedang hamil dan mengidamkan rujak dari Blang Bintang ini. Kasihan sang suami kalau harus mencarinya ke Aceh. Jauuuuuh, bo’!
^_^