Sejarah Aceh mewariskan banyak cerita khas tentang keterlibatan
perempuan, tidak hanya dalam urusan pemerintahan, tapi juga angkatan
perang dan lembaga legislatif kerajaan.
Keterlibatan perempuan Aceh dalam politik dan pemerintahan bukanlah
cerita baru. Jauh sebelum jender didengungkan, wanita Aceh sudah
memperoleh kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam segala urusan.
"Keumalahayati"
Dalam bidang militer ada korp tentara wanita, yang langsung terjun
ke dalam kancang perang, ada juga yang bertugas di istana. Resimen
pengawal istana tersebut dinamai Suke Kawai Istana. Selain itu ada lagi
yang disebut Si Pai Inong, yakni korp prajurit wanita.
Korp ini dibentuk pada masa Aceh diperintah oleh Sultan Muda Ali
Riayat Syah V (1604 -16-07 M). Si Pai Inong dipimpin oleh dua
Laksamana Wanita, yaitu Laksamana Meurah Ganti dan Laksmana Muda Tjut
Meurah Inseuen. Malah menurut Teuku H Ainal Mardhiah Ali dalam
tulisannya “Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau Sampai Masa Kiniâ€
dua laksamana itulah yang membebaskan Iskandar Muda dari penjara
ketika ditahan oleh Sultan Alaidin Riayat Syah V, seorang sultan yang
dinilainya bodoh dan bejad.
Pembebasan Iskandar Muda itu juga yang kemudian merubah sejarah
Aceh. Ketika Iskandar Muda naik ketumpuk pimpinan sebagai Sultan, mampu
membawa Aceh kemasa keemasan, yang membuatnya tersohor sampai
sekarang.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) korp tentara
wanita itu diperbesar dengan membentuk Divisi Kemala Cahaya, yang
merupakan divisi pengawal istana, yang dipimpin oleh seorang laksamana
wanita. Dalam divisi ini juga dibentuk satu batalion pasukan kawal
kehormatan, yang dipilih dari prajurit-prajurit wanita cantik. Mereka
ditugaskan untuk menerima tamu-tamu agung dengan barisan kehormatannya.
Sebelumnya, pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah IV
(1589-1604) juga pernah dibentuk Armada Inong Balee, yang prajuritnya
terdiri dari janda-janda, yang suaminya tewas dalam perang. Armada ini
dipimpin oleh Laksamana Malahayati.
Laksamana Malahayati merupakan seorang panglima wanita yang berhasil
menggagalkan percobaab pengacauan oleh angkatan laut Belanda dibawah
pimpinan Cournoles dan Frederich de Houtman di perairan Aceh pada tahun
1599 Masehi.
Armada Inong Balee ini sering terlibat pertempuran di selat Malaka
meliputi pantai Sumatera Timur dan Melayu. Karena itu pula, Marie van
Zuchtelen, seorang penulis Belanda dalam bukunya “Vrouwelijke Admiral
Malahayati†sangat mengagumi dan memuji Malajayati, yang disebutnya
cerdik, bijaksana, dan berani dalam memimpin 2.000 prajutir wanita.
Laksamana Malahayati pula yang disuruh Sultan Alauddin Riayat Syah
IV, untuk menerima dan menghadap utrusan Ratu Inggris, Sir James
Lancester dalam sebuah diplomasi ke Aceh pada 16 Juni 1606. Utusan itu
membawa surat dari Ratu Inggris untuk Raja Aceh.
Sejarah Aceh juga mewariskan wanita-wanita negarawan, yang ulung
sebagai pemimpin seperti: Ratu Nihrasiyah Chadiyn, Sri Ratu Tadjul Alam
Syafiatsuddin Syahbaz, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, serta Sri
Ratu Kemalat Syah.
Perempuan Aceh di Mahkamah Rakyat
Selain dalam bidang pemerintahan, wanita juga diikutsertakan dalam
lembaga kerajaan, seperti Balai Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen-red).
Peranan wanita dalam lembaga kerajaan diatur dalam qanun meukuta alam.
Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, Majelis Mahkamah Rakyat
mengadakan perubahan susunan anggota badan legislatif, yang terdiri
dari 73 orang wakil rakyat, 16 diantaranya merupakan wanita.
Diantara 73 anggota parlemen itu, 9 orang memegang fungsi wazir atau
menteri yang duduk dalam kabinet Sultanah, sisanya 64 orang sebagai
anggota parlemen biasa. Daftar nama-nama anggota tertera dalam Qabub
Al-Asyu Darussalam (tata negara). Qanun itu kemudian didapatkan kembali
di Dayah Almarhum Teuku Tanoh Abe, yang kemudian diambil oleh A
Hasimy, saat ia menjabat sebagai Gubernur Aceh.
Seorang penulis Belanda, H C Zentgraaff dalam buku “Atjeh†juga
menggambarkan keterlibatan perempuan Aceh dalam perang. Salah satu
kisah yang paling menarik baginya adalah peristiwa kematian Teungku Di
Barat, yang digambarkannya sebagai kematian yang paling romantis dalam
pertempuran melawan Belanda.
Suatu ketika, pasukan marsose Belanda mengetahui keberadaan mereka.
Teungku Di Barat beserta istri dan beberapa orang pengikutnya terkepung
diantara tebing-tebing dan batu cadas. Pertempuran pun tak terelakkan.
Sebutir peluru Belanda akhirnya mengenai tangan kanan Teungku Di
Barat. Namun, istrinya yang sudah berdiri di sampingnya, dengan cekatan
mengambil senapan dari tangannya. Wanita itu berdiri di depan suaminya
yang bersimbah darah, ia pun terus menembek ke arah pasukan Belanda.
Sampai akhirnya, peluru lainnya menembus tubuhnya, ia pun roboh dan
tewas bersama suaminya.
“Demikian, wanita itu tegak berdiri di depan suaminya, dan sebuah
peluru bersuratan nasib kini meluncur, menembus tubuh wanita itu,
kemudian menembus pula tubuh suaminya. Kedua mereka rebahlah dengan
seketika. Akhir hayat yang berarti bagi keduanya syahid, yang telah
memberikan rasa kebahagiaan, yang tak dapat diduga oleh siapapun betapa
besar artinya. Ada beratus-ratus wanita Aceh seperti ini, bahkan boleh
jadi ribuan jumlahnya. Dan mereka telah membangkitkan rasa hormat, pun
juga pada militer kita,†tulis Zentgraaff.
Menurut Zentgraaff, wanita Aceh, sejak pertama orang mengenalnya,
merupakan suatu pencerahan (openbaring) dari sifat-sifat pribadi
maupun pengaruhnya. Sesudah Snouck Hurgronje membeberkan dalam bukunya
tentang kehidupan rumah tangga Aceh, secara khas dan tajam, mulailah
orang-orang mengadakan penelitian secara sistimatis mengenai wanita
Aceh.
Gundik dan Dendam
Pada masa perang, ada beberapa wanita Aceh yang rela menjadi
concubine (gundik) opsir-opsir Belanda. Mereka sering menjalankan
hubungan bermuka dua. Meski menjadi gundik, mereka tetap menjalin
hubungan dengan pejuang Aceh. hubungan rahasia yang sering berakhir
dengan pertumpahan darah.
Zentgraaff menceritakan sebuah pengalaman aneh dan unik terjadi pada
salah seorang Kapten Belanda. Namun dalam bukunya, Zentgraaff menolak
menulis nama kapten itu, dengan berbagai pertimbangan. Kapten tersebut
telah mengambil seorang wanita Aceh sebagai gundiknya. Ia ingin belajar
banyak tentang bahasa dan adat istiadat Aceh melalui wanita tersebut.
Wanita itu pun tidak pernah menyembunyikan perasaan kurang hormat
terhadap orang-orang Belanda yang dianggapnya kafir.
Suatu hari Kapten tersebut pulang ke rumah, setelah melakukan
patroli. Di belakang rumahnya ia melihat beberapa pejuang Aceh sedang
duduk bercengkrama dengan gundiknya. Ia menganal betul orang-orang di
belakang rumahnya itu sebagai pejuang Aceh yang sudah berbulan-bulan
dicarinya, tapi selalu lolos dari penyergapan.
Mereka bercengkrama dengan santai sambil minum limodane, menghisap
cerutu cincin (cerutu nomor satu kala itu) milik kapten tersebut. Tanpa
kikuk, para pejuang Aceh itu pun memberi hormat kepada Kapten
tersebut. Kapten itu tidak bisa berbuat banyak, karena kalau diumumkan
dalam rumahnya ada pejuang Aceh, namanya akan tercemar, dan bisa-bisa
pangkatnya akan diturunkan.
Tak mau reputasinya hancur, ia pun membiarkan para pejuang Aceh itu
menikmati makanan di rumahnya. “Karena itulah ia terpaksa bersikap
bonne mine a mauvais jeu. Tak lama kemudian, berangkatlah para pejuang
itu dari rumah kapten, sebelum berangkat tak lupa mereka membungkuk
memberi hormat, seolah mengejek sang kapten. Kapten itu pun kemudian
bersama pasukannya harus mengejar para pejuang itu berbulan-bulan dalam
hutan belantara,†ulas Zentgraaff.
Janda dan Cuak
Wanita Aceh tidak mengakui suaminya, hanya karena ayah dari anaknya
itu telah tunduk kepada Belanda. Memilih menjadi janda dari pada
disebut istri cuak. Namun tak sedikit pula wanita Aceh yang tersiksa,
hanya karena suaminya informan Belanda.
Salah satu kejadian seperti itu, terjadi di Lhong, Aceh Besar pada
tahun 1933. menurut Zentgraaff, pada saat itu di sebuah desa terdapat
13 pria pejuang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun
salah satu diantaranya menyerahkan diri kepada Belanda.
Mengetahui hal tersebut, istrinya marah besar. Ia tidak lagi
menerima ayah dari anak-anaknya itu. Para penduduk pun mengucilkannya.
Akibatnya, pria itu terpaksa tidur di sebuah gubuk di ladangnya. Tak
lama kemudian, seorang kolonel Belanda bersama seorang pegawai
pemerintah, datang ke desa itu untuk menginterogasi wanita yang telah
mengusir suaminya itu.
Ketika ditanya Kolonel tadi, ia menjawab. “Suami saya? Saya tidak
punya suami.â€Â Jawaban itu diberikannya sambil meludah ke tanah di
hadapan sang kolonel. Namun ketika nama suaminya disebut. Ia langsung
memotong dan berkata dengan suara lantang. “Dia bukan laki-laki.â€
Kolonel tadi pun geleng-geleng kepala. Bagi wanita itu, suaminya tak
ubahnya seorang pengecut, karena menyerah, bukan mati syahid
sebagaimana pejuang lainnya.
“Siapapun boleh berkompromi, tetapi pantang bagi wanita Aceh; dia
memikul sahamnya dalam bencana perang sebagai pahlawan (srikandi),
dan seringkali: sebagai martelares. Kadang-kadang ia menderia lebih
hebat lagi dari orang senegerinya dibandingkan dengan siksa yang
dilancarkan oleh kompeuni, lebih-lebih kalau ia berdiam di zona di mana
silih berganti muncul pasukan kita dan kemudian pihak pemberontak,â€
tulis Zentgraaff.
Kejadian yang sama juga terjadi di Desa Pulo Seunong, Tangse, Pidie.
Seorang pria yang bekerja sebagai informan Belanda ditangkap pejuang
Aceh. Hal itu terbongkar ketika melihat informan tersebut memiliki
banyak uang, penyelidikan pun dilakukan, akhirnya diketahui uang itu
didapat dari Belanda atas jasanya memberi informasi keberadaan pejuang
Aceh. Â Informan itu pun ditangkap dan disembelih. Dalam kurun waktu
satu tahun saja, menurut Zentgraaff, tak kurang dari 20 cuak, yang
dipotong lehernya. Namun keluarga yang ditinggalkan tidak pernah
meratapinya. Karena dianggap telah berkhianat.
Yang lebih miris adalah apa yang dialami, istri seorang cuak yang
bernama Banta di Desa Pulo Kawa. Pada suatu malam di bulan Juli 1910,
pimpinan gerombolan Aceh, Keuchik Maha, bersama pengikutnya mendatangi
kampung tersebut untuk mencari Banta yang diketahui sebagai informan
Belanda.
Namun ketika sampai di rumah, ternyata pria yang dicari itu tidak
ada ditempat. Menurut istrinya, Banta ada di rumah istri mudanya. Namun
Keuchik Maha tetap memeriksa seisi rumah, kemudian ia duduk di sebuah
bangku, meminta kepada istri pertama Banta tersebut untuk membersihkan
kakinya yang berlumpur dengan air dalam sebuah pasu. Setelah bersih,
Keuchik Maha meminta agar mengeringkan dengan rambutnya.
Wanita itu pun kemudian mengurai rambutnya, mengeringkan kaki
Keuchik Maha. Wanita itu pasrah, karena itu menyangkut hidup matinya.
Setelah kakinya bersih dan kering, Keuchik Maha menghunus pedangnya dan
menghabisi nyawa wanita itu. Setelah itu, gerombolan Keuchik Maha pun
berangkat ke rumah istri muda Banta.
Ketika sampai ke rumah itu di malam buta, Keuchik Maha dan
gerombolannya menyeru sebagai pasukan kompeni. Ia memanggil Banta dan
memintanya turun dari rumah dengan bahasa Melayu, seolah-olah yang
datang adalah pasukan Kompeni Belanda.
Bantan pun kemudian turun dari rumahnya. Ketika menuruni tangga,
kakinya pun dipukul oleh gerombolan Keuchik Maha, ia pun roboh ke
tanah. Tangan, kaki dan kepalanya dipotong-potong. “Pun juga kepala
kampung dari kampung Pulo Suenong pada malam yang sama telah disembelih
seperti itu pula. Mayat isterinya pun dibuat demikian juga, sehingga
kumpulan semuanya itu merupakan tontonan yang sangat memalukan,
sehingga para marsose bersumpah menuntut balas terhadap Keuchik
Maha,†ulas Zentgraaff.
Masih menurut Zentgraaff, di dekat cincangan mayat istri dan
mata-mata kompeni itu, para pasukan marsoese bersumpah akan mengejar
Keuchik Maha dan mencincang tubuhnya seperti yang dilakukannya terhadap
keluarga cuak tersebut.
Perburuan pun dimulai, namun Keuchik Maha, selalu bisa lolos. Sampai
pada 24 Maret 1911, Keuchik Maha dan kelompoknya, kembali turun ke
Desa Pulo Sunong, untuk menjumpai istrinya. Sekitar pukul lima sore,
Keuchik Maha dan kelompoknya nampak di pinggiran kampung tersebut.
Sementara pasukan moersose dibawah pimpinan Van Dongelen, seorang
sersan asal Ambon, sudah menunggu dengan jebakannya. Keuchik Maha dan
gerombolannya pun tewas dalam penyergapan itu.
Kejadian lainnya yang tak kalah miris terjadi di Seunangan, daerah
pesisir Aceh Barat, dalam tahun 1906 dan 1907. Sebuah kelompok pejuang
Aceh pimpinan Ibrahim, yang lebih dikenal dengan sebutan Pang Brahim.
Ia sendiri merupakan bawahan dari kelompok pejuang yang lebih besar
pimpinan Teungku Puteh. “Teungku Puteh lah biang keladi (aktor
intelektual) yang pada tahun 1917 melakukan penyerangan terhadap
tentara kita, dan menewaskan Gosensoe,â€Â tulis Zentgraaff dalam
bukunya tentang peristiwa tersebut.
Namun dalam suatu penyerangan Belanda dibawah komando Boreel, Pang
Brahim tertangkap hidup-hidup dan ditawan Belanda. Tertangkapnya Pang
Brahim tak lepas dari peran seorang cuak, yang merasa sakit hati
terhadap perlakuan kasar pasukan Pang Brahim terhadap keluarganya yang
juga dicap sebagai cuak. Setelah diinterogasi, ia kemudian dipenjara di
Meulaboh. Meski mengalami berbagai siksaan, dalam penjara ia tetap
menyatakan tekatnya secara lantang untuk membalas dendam terhadap
Belanda.